Mengenai Saya

Foto saya
Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia
"ya ayyuhallazina amanu taqullaha waltandzur nafsummaqoddamat lighat, wa taqullaha innallaha khabirum bima ta'malun"

Cari Blog Ini

Jumat, 17 Desember 2010

Hakikat Hidup


Rasulullah Saw bersabda: "kun fidunya kaannakum ghoribun au ahlu sabil"
Hiduplah di dunia ini seakan-akan kamu ini orang asing atau orang yang merantau dalam perjalanan(HR. Bukhari).

Dari hadits diatas Rasulullah saw mengingatkan kepada kita agar hidup didunia seolah-olah kita ini sebagai orang asing dan sedang merantau. Hikmah apa yang dapat kita petik sebagai seorang asing dan perantau?

Orang yang merasa sebagai orang asing dan sedang merantau pastilah:

1. Selalu teringat dengan kampung halamannya. Dia selalu rindu dengan kampung halaman, ingin agar segera bertemu sanak keluarga dan saudara dikampung halamannya itu.

2. Ingin berhasil mengumpulkan bekal untuk pulang ke kampung halamannya. Sebagaimana para TKI (tenaga kerja indonesia) di luar negeri. Bekerja siang malam membanting tulang agar setelah pulang kampung membawa bekal yang banyak dan menjadi orang yang sukses.

3. Tidak lalai dengan tugas utama mengemban misi kerja untuk mendapatkan hasil yang besar bagi sukses kampung halaman. Bahkan mereka tidak terfikir untuk memiliki kemewahan hidup diperantauan. Para perantau biasa dengan kesederhanaan karena dia tahu dia akan segera dipanggail pulang kekampung halamannya.

Bila orang tidak sadar bahwa dia orang asing yang dalam perantauan maka sama seperti orang yang lupa bahwa dia memiliki paspor yang ternyata akan segera habis yang kemudian akan diusir dari negeri itu dan dikembalikan kekampung halamannya. Pada saat dikembalikan kekampung halamannya ia menyesal karena tidak menyiapkan bekal untuk kampung halamannya. Ia terluntah-luntah tidak punya rumah, tidak punya kerabat, tidak punya bekal apapun. Ia akan tersiksa.

Sementara orang yang sadar bahwa ia dalam perantauan dan menyiapkan diri untuk kampung halamannya maka dia akan senang karena dia telah menyiapkan rumah dikampung halamannya yang dia kirimkan saat diperantauan untuk dibangunkan rumah. Dia memiliki keluarga yang sehat dan bahagia karena dia selalu mengirimkan bekal untuk keluarganya dikampung halaman. Sementara orang yang lupa tidak mengirimkan bekal pada keluarganya sehingga keluarganya pun punah.

Kampung halaman kita yang hakiki adalah akhirat. Dunia ini adalah tempat perantauan. Paspor kita didunia ini cepat atau lambat akan dicabut oleh Allah, kapan saja Allah mau. Maka bila kita lupa masa itu akan datang tentulah sama dengan orang-orang yang lupa pada Allah.

Allah SWT berfirman:

"..dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasik" (AL Hasyr 19).

Orang yang lupa pada Allah sesungguhnya mereka lupa pada diri mereka sendiri yang akibatnya mereka tidak tahu arah hidup ini. Padahal mereka akan dikumpulkan dipadang mashar selama satu hari yang setara dengan 50 ribu tahun hidup didunia. Artinya bila dibandingkan dengan akhirat, hidup didunia ini hanya sebentar saja tidak lebih dari 3 menit.

Kerugianlah bagi siapa saja yang menukar kenikmatan akhirat dengan kenikmatan dunia yang hanya sebentar itu.

Allah SWT mengingatkan agar menyiapkan bekal untuk menghadapai hari setelah kematian dengan menyuruh manusia bertakwa.

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Al Hasyr ayat 18).

Ayat diatas mengingatkan agar manusia mempersiapkan diri untuk hari akhirat. Sebelum manusia masuk kedalam surga atau neraka terlebih dahulu dikumpulkan dipadang masyhar. Jutaan orang berkumpul pada lapangan yang sama matahari diatas kepala mereka, mereka tertunduk dalam keadaan telanjang, malu, tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain, sama. Mereka dikumpulkan seperti lapangan terigu yang putih. Setelah itu mereka akan digiring ke neraka dan ke syurga sesuai dengan amal ibadah manusia.

Maka Allah memerintahkan untuk bertakwa agar selamat sesuai dengan ayat diatas. Bertakwa berarti melaksanakan seluruh kewajiban (fardlu ain: shalat, zakat, puasa, haji, dakwah, dll; Fardhu kifayah: menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, mengurus jenazah, mengelola Negara dengan cara Islam, dll ). Menjauhi seluruh yang dilarang Allah (diharamkan), memperbanyak mengerjakan yang sunnah (seluruh amal sunnah). Bila kita telah melaksanakan semua itu maka insya Allah akan selamat dunia dan akhirat.

Allah berfirman dalam surat At Tahrim ayat 6:
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." ( QS AT Tahrim : 6)

Wallahu'alam
Budianto Haris

Rabu, 01 Desember 2010

Rezeki Dari Allah


Anggapan masyarakat tentang rezeki

Banyak anggapan bahwa rezeki itu karena pendidikan tinggi, sehingga banyak orang menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan tinggi dengan maksud agar menjadi kaya. Namun ternyata banyak orang yang berpendidikan tinggi tidak lebih kaya dari orang yang berpendidikan biasa. Sebagian orang menganggap rezeki itu karena faktor usia, semakin dewasa seseorang akan semakin baik rezekinya. Namun ternyata banyak orang yang usianya lebih tua rezekinya tidak sebaik anak muda.

Ada orang berkeyakinan bahwa dengan tingginya jabatan dalam suatu instansi maka rezekinya akan semakin banyak. Namun faktanya banyak staf yang tanpa jabatan rezekinya lebih lebih banyak dari sang bos. Beberapa orang percaya bahwa menjadi pegawai negeri sipil rezekinya lebih terjamin dari pada menjadi pedagang. Tapi rupanya banyak pedagang yang memiliki tabungan masa depan yang lebih dari cukup untuk jaminan hari tuanya. Atau sebaliknya.

Ada juga orang yang berpendapat bahwa menjadi pengusaha akan lebih kaya dari menjadi karyawan. Hal ini ternyata terbantah dari kenyataan banyak karyawan yang jauh lebih kaya dari pengusaha. Ada pula yang yakin bahwa menjadi karyawan lebih baik rezekinya dari pada menjadi petani. Sekali lagi keyakinan ini gugur karena rupanya banyak petani yang kaya raya melebihi karyawan sebuah perusahaan multi nasional.

Ada pula orang yang memahami bahwa dengan tidak bekerja dia tidak mendapatkan rezeki. Namun faktanya banyak orang yang tidak bekerja dan masih sekolah ternyata mendapat rezeki bahkan jumlahnya lebih banyak dari orang yang bekerja. Beberapa orang menyimpulkan bahwa orang yang lebih giat bekerja rezekinya lebih banyak dari yang kurang rajin. Ternyata si pemalas rezekinya lebih banyak.

Kita juga dapat melihat kenyataan para pedagang yang menggelar dagangannya pada tempat yang sama-sama strategis, dengan barang dagangan yang sama baik bentuk, kuantitas maupun kualitasnya, pelayanannya sama-sama baik namun ternyata berbeda pendapatannya. Yang satu selalu ramai namun yang lain lebih sepi.
Ternyata semua anggapan diatas terbantah dari kenyatan yang ada. Lantas bagaimana sebenarnya?

Fakta Rezeki

Rezeki adalah hak Allah. Rezeki tidak dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, tinggi rendahnya pendidikan, usia, tinggi rendahnya jabatan, profesi yang ditekuni (PNS, karyawan swasta, pedagang, petani, pengusaha) penganggur, besarnya usaha yang dilakukan, lokasi usaha dll. Allah SWT berfirman:

Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab. (Al Imran 37)

Dari ayat diatas dijelaskan bahwa Allahlah yang memberikan rezeki kepada siapa saja yang dia kehendaki apapun profesinya, dimanapun tempatnya, tua, muda, pegawai, pengusaha, pedagang, petani, dll. Allah tidak akan menghisap besar kecilnya rezeki yang didapat oleh manusia.
Banyak ayat-ayat yang serupa dengan itu diantaranya:

Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezki, kemudian mematikanmu, lalu menghidupkanmu (Ar Rum 40)

Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Al Ankabut 60)

Kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang memberi rezki kepadamu. (At Thaha 132)

Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka (Al An’am 151)

dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. (Al Isra’ 31)

benar-benar Allah akan memberi rezki yang baik kepada mereka dan sesungguhnya Allah sebaik-baik pemberi rezki. (Al Hajj 58)

dan tidak ada suatu binatang melata[709] pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya (Huud 6)

Maka mintalah rezki itu di sisi Allah (Al Ankabut 17)

Allah meluaskan rezki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. (Ar Ra’ad 26)

Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh. (Ad Dzariat 58)

Ayat-ayat diatas dan sejumlah yang lain merupakan dalil-dalil yang qoth’i maknanya tidak ada penafsiran dan pengertian lain bahwa rezeki itu adalah milik Allah dan Dialah satu-satu yang Maha Kuasa memberikannya kepada siapa saja yang dia kehendaki.

Allah telah menetapkan rezeki bagi setiap orang sejak 4 bulan berada dalam rahim ibunya seperti sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud ra
’Sesungguhnya setiap individu kamu mengalami proses penciptaan dalam perut ibunya selama empat puluh hari (sebagai nutfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula. Selanjutnya Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke dalamnya dan diperintahkan untuk menulis empat perkara yaitu: menentukan rezekinya, ajalnya, amalnya serta apakah ia sebagai orang yang sengsara ataukah orang yang bahagia’.

Dengan demikian maka seorang hamba telah ditentukan rezekinya oleh Allah SWT yang jumlahnya pun telah pasti. Rezeki akan datang bila Allah mendatangkan pada kita. Lantas apa hubungannya dengan usaha bekerja?

Dari paparan diatas ternyata usaha bekerja tidaklah menjadi sebab datangnya rezeki karena banyak orang yang telah bekerja keras namun tidak mendapatkan rezeki. Allah SWT telah memerintahkan kepada manusia untuk berikhtiar agar menghantarkan pada keaadaan (al hal) perolehan rezeki, namun Allahlah yang meberikan rezeki tersebut. Usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh rezeki adalah kewajiban yang harus dilakukannya yang telah diperintahkan Allah. Bila dia tidak mau berusaha maka Allah akan menghisabnya. Allah berfirman:

Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan. (Al Mulk 15)

Rasulullah SAW bersabda: ’Tidak akan memberatkan bagi siapa saja yang bekerja keras’
Diriwayatkan dari Miqdam ”Tidak ada makanan yang lebih baik bagi seseorang daripada makanan yang dihasilkan oleh kerja kerasnya sendiri. Sesungguhnya Nabi Dawud as makan dari hasil kerjanya sendiri” (Hadits riwayat bukhari no 2072)

Sebagai seorang muslim, maka wajib baginya untuk bekerja karena Allah telah memerintahkan. Sehingga motivasi seorang mukmin dalam bekerja adalah ibadah karena Allah saja dengan keyakinan Allah akan memberi rezeki kepadanya. Allah telah menjamin reazeki tiap-tiap orang.

Sehingga tidak diperbolehkan bagi kita merasa bahwa rezeki yang Allah limpahkan kepada kita karena hasil usaha kita, seolah-olah tidak ada peran Allah dalam perolehannya. Lihatlah bagaimana kesombongan Qorun yang merasa bahwa harta yang dia peroleh berkat kepandaiannya, kemudian Allah tenggelamkan ia bersama hartanya.
Selanjutnya apa perbedaan pemilikan, rezeki dengan keadaan yang dapat mendatangkan rezeki?

Pemilikan adalah penguasaan sesuatu dengan berbagai cara yang diperbolehkan dalam Islam. Artinya harta yang diperoleh bukan dengan jalan yang benar seperti merampok, korupsi, menipu bukanlah pemilikan yang sah. Harta tersebut bukan milik orang yang melakukannya, status harta tersebut tetap milik orang yang dizhalimi tadi, maka negara memiliki kewajiban untuk menghukum orang yang berbuat curang tersebut dan mengembalikan hartanya kepada yang berhak.

Rezeki adalah sesuatu yang sampai kepada mereka baik diperoleh dengan cara halal maupun haram. Bila ia peroleh dengan cara halal maka disebut rezeki halal, bila dengan cara haram disebut rezeki haram. Keduanya tetap rezeki.
Keadaan yang mampu mendatangkan rezeki adalah suatu kondisi yang bisa mendatangkan rezeki, misalnya orang berjualan, orang bekerja, orang bertani dll. Namun datangnya rezeki tidak dapat dipastikan dari hal itu.

Penutup

Bila kita dalam kondisi yang kesulitan dalam perolehan rezeki walaupun telah mengusahakan berbagai hal untuk memperolehnya maka bersabarlah sesungguhnya Allah sangat sayang kepada kita. Percayalah dengan kondisi kesulitan yang kita hadapi itu Allah akan memberikan imbalan pahala yang besar bagi kita yang bersabar. Tetaplah berusaha, berdoa dan bersilaturahim karena dengan bersilaturrahim Allah akan melapangkan bagi kita rezeki. Sesuai dengan Sabda Rasulullah dari Anas bin Malik ra: Saya mendengarkan Rasulullah SAW bersabda ”Siapa yang ingin rezekinya dilapangkan dan umurnya dipanjangkan, hendaklah ia bersilaturrahim” (Hadits riwayat Bukhari no. 2067).

Bagi mereka yang belum bekerja dan terus berusaha mencari kerja namun belum mendapatkan pekerjaan yang diinginkan maka tetaplah dalam keimanan dan kesabaran. Mungkin Allah punya rencana lain bagi kita yang lebih baik dari yang kita harapkan. Yakinlah walaupun belum bekerja, Allah tetap akan mendatangkan rezekinya dari jalan yang lain. Tetaplah kita berdoa agar penguasa diberikan hidayah oleh Allah untuk membuka lapangan pekerjaan bagi rakyatnya, karena memberikan pekerjaan kepada rakyat adalah kewajiban penguasa. Bila masih banyak orang yang tidak bekerja karena tidak ada lapangan kerja maka Allah akan menghisab para penguasa karena tidak menjalankan amanah Allah sehingga menghambat dan memotong jalannya rezeki rakyat.

Untuk mereka yang dianugerahkan rezeki yang mudah dan berlebih maka bersyukurlah. Sungguh Allah sangat luas rezekinya. Ingatlah bahwa didalam rezeki yang Allah berikan ada rezeki orang miskin yang harus dikeluarkan. Tanda syukur kita kepada Allah adalah dengan mengeluarkan hak orang miskin dari rezeki tersebut.

Bagi para pemegang kekuasaan maka berhati-hatilah dengan banyaknya orang miskin karena Allah akan menghisab disebabkan karena kesulitan hidup rakyatnya. Kesulitan hidup rakyat disebabkan oleh kebanyakan harta hanya beredar ditangan sedikit orang akibat diterapkannya sistem kapitalis. Maka lebih baik menghisab diri kita sebelum dihisab Allah yaitu dengan kembali pada ajarannya dalam mengelola Negara.

Wallahu ’alam
Budianto Haris